Kamis, 05 Mei 2011

EMAIL, BLOG, FACEBOOK DAN YOUTUBE

"Seorang anggota DPR ditanya alamat email oleh peserta dialog dalam suatu seminar,dengan terbata-bata dia menjawab:"aduh email saya sudah dijual tuh...!" dikiranya emailitu seperti tanah, sawah atau kebun"

Anekdot di atas ternyata mendapatkan relevansinya ketika kemarin kita melihat satu bentuk hal yang ironis ketika anggota DPR yang studi banding ke Australia ternyata tak hapal alamat emailnya. Lebih parahnya lagi alamat email yang diberikan ternyata tak ada alias palsu.
Memang, di era teknologi informasi sekarang ini melek IT merupakan satu keharusan, minimal standar, chatting, browsing, blog, twitter dan facebookan bisa dilakukan oeh seorang yang namanya yang terhormat anggota DPR.

Sabtu, 02 Agustus 2008

JABATAN : ANTARA AMANAH DAN MUSIBAH

Ketika kita mendapat jabatan, maka biasanya kita akan segera melakukan sujud syukur. Memang jabatan berpotensi sebagai karunia dari Allah SWT. Akan tetapi banyak yang tidak menyadari, jabatan mempunyai kemungkinan pula sebagai musibah. Contohnya sekarang, banyak yang punya jabatan justru terjungkal setelah segalanya didapatkan. popularitas, jabatan, keuangan dan lain sebagainya. Tidak sedikit yang sebelumnya dikenal sebagai alim, dari keluarga terhormat, anggota organisasi keagamaan atau bahkan menjadi anggota Dewan yang terhormat, lalu terjebak dalam perangkap sistem yang korup, kolusi dan nepotis tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan terjebak pula ke dalam kasus kriminal. Persoalannya adalah apakah budaya kkn itu persoalan kriminal murni atau kultur. Tanpa mendalami penyebabnya, sehebat apapun badan dibuat dan bekerja, ia tidak menyentuh substansi persoalan.
Tulisan penulis kali ini adalah dari kacamata luar, membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari para tokoh pejabat publik yang sedang atau sudah pernah menjadi pejabat publik secaraempirik.
Setali tiga uang, jabatan publik hampir sama dengan artis. ketika berprestasi atau tampil baik dengan pencitraan bagus. seolah malaikta, akan tetapi ketika kelihatan boroknya bisa ancur berantakan karir yangdibangun bertahun-tahun.
Saya tidak hendak menyatakan jangan menjadi pejabat publik. Namun hendak mengingatkan kita semua bahwa menjadi pejabat publik, konsekwensi logis darai jabatan tersebut. kedua tidak selamanya menjadi publik itu anugerah, bisa jadi cobaan atau musibah.
Untuk memberantas kkn, tidak serta merta mengandalkan regulasi atau badan semacam KPK dan lain sebagainya, lebih jauh perlu dikaji persoalan lebih mendasar dari hal tersebut.
Tak banyak yang menyangkut. Seseorang yang diangkut menteri akan buru-buru syukuran dan ucapan selamat datang dari mana-mana. Tak ada yang salah memang, sebab mendapat kepercayaan itu adalah suatu hal baik. Akan tetapi saya teringat dengan seseorang Anggota DPRD Jawa arat yang mengeluh karena dikejar-kejar konstituen.
Cost politik yang tinggi menjadikan calon anggota legislatif berbuat apasaja untuk berhasil menjadi anggota legislatif. Sebenarnya, jangankan menjadi pejabat publik, dalam Islam, menjadi kepala keluarga, kepalarumah tangga (bagi istri) bahkan menjadi dir sendir adalah sebuah bentuk tanggung jawab yang akan dipresentasikan dunia akhirat.
Menjadi bupati, walikota, anggota Dewan merupakan sesuatu yang prestisius, namun ada beban-beban yang mengghinggapi pundak-pundak para pejabat publik itu diantaranya :
1. Cost politik yang tinggi
2. Kultur budaya kkn


Alimudin, Sekretaris Jurusan PAI Uniga, Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Administrasi Negara (S2)